Mengenang Desa Cikao Purwakarta, Desa Pengrajin Perahu Terbesar di Jawa Barat Pada Abad ke-19

Sebagian masyarakat di tanah air, mungkin sudah tak asing dengan yang namanya perahu. Ya, itu merupak salah satu alat Transportasi Air tradisional yang terbuat dari pilahan kayu.

Sejauh ini, mungkin alat transportasi tersebut masih menjadi salah satu andalan keperluan mobilitas warga. Apalagi, bagi mereka yang bermukim di sekitar bantaran sungai ataupun danau buatan.

Tapi tahu gak? Dulu, di Kabupaten Purwakarta alat Transportasi Air ini cukup tersohor loh. Memang tak banyak orang yang tahu, jika salah satu alat Transportasi Air tersebut pernah mengharumkan nama Desa Cikao, Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta

Bahkan, konon desa yang lokasinya persis berada di bawah Bendungan Ir H Djuanda (Jatiluhur) itu dulunya merupakan pusat Kerajinan perahu terbesar di zamannya.

Dari cerita warga sekitar, sebelum banyak kendaraan bermotor seperti sekarang ini, perahu merupakan satu-satunya alat Transportasi Air yang paling digemari masyarakat di wilayah itu.

Namun, seiring berjalannya waktu, masa kejayaan perahu Cikao pun sirna. Satu persatu, para perajin yang ada di desa itu memilih gulung tikar. Saat ini, jumlah perajin yang masih bertahan bisa dihitungan jari.

Dari cerita masyarakat setempat, dulu Cikao Bandung sempat termashyur. Bahkan, desa tersebut katanya jauh lebih terkenal dari Purwakarta.

Kondisi ini terjadi, karena di desa ini ada centra perajin perahu yang memang saat itu menjadi alat transportasi yang digemari masyarakat.

Apalagi, saat itu Sungai Cikao menjadi satu-satunya akses penghubung antara Batavia dengan Purwakarta dan daerah sekitarnya. Jadi, perahu merupakan satu-satunya alat transportasi massal saat itu.

Menurut sejarahnya, dulu Cikao Bandung merupakan sebuah pelabuhan. Sehingga saat itu, Cikao Bandung menjadi wilayah paling ramai disinggahi para pedagang dan saudagar dari luar daerah, hingga luar negeri.

Karena menjadi desa pelabuhan inilah, masyarakat Cikao Bandung tertarik dengan membuat perahu. Ketertarikan warga untuk membuat transportasi ini berawal dari meniru perahu yang singgah dan hingga akhirnya keterampilan membuat perahu pun dikuasai oleh masyarakat Cikao.

Saat itu, hampir semua kepala keluarga (KK) mampu membuat perahu. Selain digunakan sendiri, perahu tersebut banyak diminati oleh pembeli dari luar.

Saat itulah, perahu Cikao banyak dicari orang dari peloksok daerah. Sehingga, Cikao Bandung juga terkenal dengan sebutan Kampung Perahu.

Namun, saat ini sebutan kampung perahu ini pun sirna seiring dibangunnya Bendung Walahar (Karawang) pada 1918 silam. Sehingga, arus air dari Sungai Citarum menuju hilir menjadi tertutup dan perahu tak bisa lagi menyusuri Sungai Citarum yang tembus ke Sungai Cikao.

Sejak saat itu, Sungai Cikao mulai sepi dari arus lalulintas perahu. Adapun perahu yang masih bertahan, adalah perahu yang mengangkut pasir ataupun bambu. Itupun, penggunanya adalah masyarakat di sekitar bantaran sungai tersebut.

Selain karena aksesnya tertutup, saat ini kondisi sungai juga telah mengalami perubahan, karena terjadi pendangkalan dan sedimentasi.

Kedua hal itu, membuat lesunya usaha kerajinan perahu yang sebagian besar menjadi mata pencaharian masyarakat Cikao Bandung saat itu. Konon, masa kejayaan perahu Ciako pun mulai redup sejak 80-an.

Awal 1990, usaha perahu yang digeluti masyarakat Cikao Bandung semakin mengalami kemunduran parah. Hal itu, menyebabkan kerajinan perahu tak lagi diminati oleh generasi penerus karena prospeknya dianggap kurang menjanjikan.

Minimnya order kala itu, membuat para perajin berkurang bahkan ada dari sebagian perajin perahu tersebut sudah banyak yang meninggal.

Kondisi redupnya nama Kampung Perahu ini juga diperparah dengan sepi order dan tak berminatnya generasi muda terhadap kerajinan perahu. Makanya, keberadaan kampung parahu ini bak pribahasa ‘hidup segan mati tak mau’. ***

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *